Chakpedia – Biasanya kalau ada demo besar, TV rame-rame siarin suasana panas, teriak-teriakan, kadang ada aksi saling dorong. Nah, sekarang siap-siap aja: bisa jadi yang tayang cuma potongan polisi lagi kasih bunga ke pendemo. 🤔 Semua gara-gara surat edaran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID Jakarta yang hebohnya luar biasa.
Intinya, mereka ngimbau stasiun TV dan radio jangan terlalu banyak nayangin demo, apalagi kalau ada adegan bentrokan. Pertanyaannya: serius nih? Media kan tugasnya ngasih informasi, bukan sekadar hiburan sinetron.
Surat Edaran dari KPID Jakarta yang Bikin Kening Berkerut
Tanggal 28 Agustus 2025, KPID Jakarta nyebarin surat ke 37 stasiun TV dan radio.
Pesannya jelas: liputan demo jangan ditampilkan secara berlebihan, jangan provokatif, dan jangan eksploitasi kekerasan.
Alasannya? Demi menjaga suasana tetap adem dan kondusif. Kata “kondusif” ini emang sering banget dipake pejabat. Bisa jadi alasan buat apapun: dari ngebatesin berita sampai ngebatalin konser dangdut.
Masalahnya, begitu surat ini bocor ke publik, langsung dianggap kayak sensor gaya baru. Wajar sih, soalnya kalau kekerasan nggak boleh ditayangin, masyarakat bisa kehilangan gambaran utuh soal apa yang sebenarnya terjadi. Jadinya TV kelihatan kayak bikin liputan versi editan KPI.
Netizen: “Kalau TV Dilarang, Kita yang Siarin!”
Reaksi publik? Udah pasti rame. Warganet langsung nyerbu medsos dengan komentar sarkas:
- “Nggak usah panik, kita upload sendiri di TikTok!”
- “Habis ini liputan demo diganti animasi kartun biar nggak menakutkan.”
Makin lama, makin banyak yang bilang kalau aturan ini malah berbau pembungkaman. Demo itu bagian dari demokrasi, jadi kenapa justru ditutup-tutupi?
KPI Pusat Turun Tangan: “Hei, Jangan Salah Kaprah”
Melihat ribut-ribut ini, KPI Pusat buru-buru klarifikasi. Mereka bilang kebebasan pers tetap penting, media tetap boleh liput, asal caranya berimbang, akurat, dan nggak asal comot footage.
Masalahnya, publik malah makin bingung. Jadi mana yang bener? KPID Jakarta larang, KPI Pusat bilang nggak? Jangan-jangan mereka belum sinkron, atau masih ribut di grup WA internal. 😅
Dilema: Tenang di TV, Gaduh di Medsos
Kalau dipikir-pikir, ada dua sisi:
- Versi KPID: tayangan ricuh bikin suasana makin panas.
- Versi publik: kalau berita dipotong-potong, malah bikin orang salah paham dan rawan hoaks.
Nyatanya, sekarang orang lebih sering dapet info demo lewat live streaming Instagram atau TikTok. Jadi, mau TV dibatesin kayak apapun, medsos tetap jadi alternatif. Bedanya, kalau TV biasanya diverifikasi, di medsos kadang fakta dan hoaks campur aduk.
Aturan Ala KPI: Kayak Gorengan Setengah Matang
Kalau disimplifikasi, aturan ini kayak guru bilang ke murid:
- “Boleh ngomong, tapi jangan kedengeran.”
- “Boleh ketawa, tapi jangan keliatan seneng.”
- “Boleh liput demo, tapi jangan nunjukin yang panas-panas.”
Ya gimana, jadinya aneh. Bukannya bikin tenang, malah bikin orang mikir: KPI ini serius jaga etika penyiaran, atau lagi bikin sketsa komedi?
Saran Nyeleneh Buat KPI
Beberapa ide kocak dari netizen biar liputan demo sesuai standar “adem” ala KPI:
- Semua orasi didubbing pake suara Upin-Ipin.
- Adegan ricuh diganti footage anak kucing lagi main bola.
- Demo cuma boleh ditayangin jam 3 pagi, biar nggak ada yang nonton.
Lucu sih, tapi sebenarnya sindiran keras. Intinya, masyarakat nggak mau haknya untuk tahu fakta dibungkam.
KPI Harusnya Jadi Wasit, Bukan Sutradara
Surat edaran ini jelas bikin heboh. Niat awalnya mungkin baik, tapi caranya bikin orang salah paham. Di era digital, mustahil ngontrol informasi pakai aturan kaku. Daripada bikin surat aneh-aneh, KPI mending fokus ngawasin supaya media ngasih liputan yang fair, etis, dan nggak lebay.
Ingat, regulasi bukan berarti sensor. Kalau kelewatan, publik bisa mikir KPI ini bukan lagi pengawas, tapi sutradara acara komedi nasional.







